MAZMUR TANGGAPAN
SEJARAH SINGKAT
Tradisi menyanyikan Mazmur atau Kidung setelah mendengarkan bacaan dari Kitab Suci, sebenarnya sudah dilakukan sejak jaman dahulu oleh orang-orang Yahudi. Tradisi ini kemudian diikuti oleh Gereja di mana di mana dalam tradisi Gereja Latin, setelah pembacaan Kitab Suci, seseorang akan menyanyikan Mazmur atau Kidung dengan berdiri di anak tangga (dekat panti Imam) yang dalam bahasa latin dinamakan Gradus.
Sejalan dengan perkembangannya, Mazmur dan Kidung ini kemudian dihimpun dalam dua buah buku yang diterbitkan oleh Gereja dengan nama GRADUALE ROMANUM dan GRADUALE SIMPLEX di mana nama buku (GRADUALE) diambil dari kata GRADUS tersebut di atas.
Dengan dikeluarkannya buku-buku nyanyian tersebut, maka sejak abad XX Mamur tanggapan wajib dinyanyikan dalam ekaristi, di mana seorang petugas dapat menyanyikannya di mimbar sabda atau juga di tempat lain yang dianggap layak.
Makna utama yang terkandung dalam Mazmur tanggapan yang kita nyanyikan dalam liturgi sabda pada setiap perayaan ekaristi adalah :
- Sebagai jawaban atau tanggapan jemaat atas sabda Allah yang telah diwartakan di mana tanggapan tersebut terwakili lewat pengalaman umat Israel yang tercantum dalam kitab Mazmur
- Mazmur tanggapan bermakna menjawab dengan pujian atas karya-karya Illahi dari Allah yang terus berlangsung sejak dunia ini diciptakan-Nya hingga sekarang ini
- Mazmur tanggapan merupakan pewartaan kabar gembira tentang karya keselamatan Allah, di mana karya keselamatan ini memuncak pada diri Yesus Kristus Putra Nya yang tunggal.
Dari ketiga makna tersebut, pada akhirnya memberi kesimpulan pada kita bahwa teks atau syair yang dinyanyikan atau didaraskan pada Mazmur Tanggapan, bukan bersumber dari SEMBARANG NYAYIAN. Teks atau syair dalam Mazmur Tanggapan harus BIBLIS/ALKITABIAH (bersumber pada Kitab Suci) yang kebanyakan diambil dari Kitab Mazmur.
MEMBAWAKAN MAZMUR TANGGAPAN
Sejak dikeluarkannya Pedoman Umum Missale Romawi (PUMR) 2002 dan diterbitkannya Tata Perayaan Ekaristi (TPE) di Indonesia pada tahun 2005, hal tentang membawakan Mazmur Tanggapan ini dijelaskan secara lebih rinci lagi.
TATA CARA MEMBAWAKAN MAZMUR
- Sesuai dengan PUMR no 61, Mazmur tanggapan sebaiknya dibawakan dengan cara dinyanyikan, sekurang-kurangnya pada bagian ulangan (antifon) sesuai dengan hakikat dari Mazmur sendiri yang merupakan sebuah nyanyian
- Mazmur tanggapan dinyanyikan dengan tenang dan mengalir, selaras dengan sifat lagunya yang lebih bersifat kontemplatif dan meditatif
- Mazmur Tanggapan dibawakan secara khusus oleh pemazmur dan sebaiknya dibedakan dengan solis yang lebih berfungsi sebagai petugas dalam kelompok paduan suara. Untuk itu, di paroki-paroki, biasanya dibentuk komunitas sendiri untuk petugas pemazmur.
- Seandainya petugas pemazmur tidak ada, maka Solis dari kelompok paduan suara dapat mengambil alih tugas ini; dan seandainya pemazmur dan solis dari paduan suara tidak ada, maka Lektor dapat mengambil alihnya.
- Jika benar-benar terpaksa karena semua petugas tidak ada, maka Imam selebran dapat mengambil alih tugas ini. Sekali lagi hal ini dilakukan jika benar-benar terpaksa.
VARIASI MENYANYIKAN MAZMUR TANGGAPAN
Di bawah ini beberapa contoh variasi menyanyikan Mazmur Tanggapan dengan tujuan untuk membantu umat dalam merenungkan sabda-sabda Allah yang baru saja didengarkannya.
VARIASI 1 :
Pemazmur menyanyikan atifon yang kemudian diikuti oleh umat. Setelah umat menyanyikan antifon, pemazmur menyanyikan ayat-ayatnya di mana setiap ayat diselingi dengan nyanyian antifon oleh umat. Variasi ini yang biasa digunakan dalam perayaan Ekaristi
VARIASI 2 :
Pemazmur menyanyikan mulai dari atifon sampai dengan ayat-ayatnya tanpa diikuti oleh umat. Variasi ini dianggap kurang begitu baik karena umat pada akhirnya tidak dilibatkan.
VARIASI 3 :
Atifon dan ayat seluruhnya dinyanyikan oleh umat bersama-sama
VARIASI 4 :
Umat bersama-sama menyanyikan Antifon kemudian pada bagian ayat, dinyanyikan secara bergantian. Pembagiannya dapat dilakukan berdasarkan posisi tempat duduk.
VARIASI 5 :
cara membawakannya sama dengan variasi 1, tetapi ditambahkan/disisipkan instrumental pada bagian-bagian tertentu.
BAIT PENGANTAR INJIL
Sejak tahun 1970, Bait pengantar Injil mulai diterapkan dalam perayaan ekaristi. Bait Pengantar Injil adalah satu sisipan atau perikop yang berkaitn dengan isi Injil yang dibacakan pada saat itu. Dalam Pedoman Umum Misale Romawi (PUMR) 62c ditegaskan bahwa bait pengantar injil harus dinyanyikan. Jika tidak mampu menyanyikannya, maka bagian ini sebaiknya tidak didaraska (dibacakan) dengan kata lain ditiadakan
Bait pengantar injil dinyanyikan dengan didahului oleh Antifon yang kemudian diikuti oleh seluruh umat, dilanjutkan dengan menyanyikan bait (perikop), setelah itu diakhiri dengan menyanyikan antifon bersama umat.
Bentuk syair antifon dalam Bait Pengantar injil ada dua yaitu :
- Antifon dengan syair ALLELUIA (dari bahasa Ibrani = HALLELU-YAH yang artinya Pujilah Allah) dimana antifon ini dinyanyikan DI LUAR MASA PRAPASKAH
- Antifon dengan Syair "Terpujilah...." yang dinyanyikan selama masa Prapaskah dan pekan suci (kecuali malam Paskah dan Minggu Paskah)
Dalam masa tertentu sesuai dengan Kalender Liturgi Gereja Katolik, setelah Bait pengantar injil, ada sisipan madah yang juga wajib dinyanyikan yaitu SEKUENSIA (Sequentia).
Sekuaensia dinyanyikan pada :
- Hari Munggu Paskah I : Victimae Paschali Laudes (Vipone)
- Hari Raya Pentakosta : Veni, Sanctae Spiritus (Stephan Langton)
Juga sebagai fakultatif sesuai dengan PUMR 64 pada :
- Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus : Lauda Sion Salvatores (Thomas Aquinas. 1263)
- Bunda Maria yang Berduka : Stabat Mater Dolorosa (Thomas Celano, 1250)