March 10, 2011

PAKAIAN USKUP

Jika dalam posting sebelumya kita melihat tentang busana Liturgi dan warna liturgi, maka dalam posting kali ini kita akan melihat lebih dalam masih dalam konteks busana, yaitu Pakaian yang dikenakan oleh para Uskup. 
Busana Liturgis (Habitus Choralis)
Busana uskup untuk upacara liturgi gereja, di dalam dan di luar wilayah keuskupannya, adalah: jubah ungu setakat mata kaki; sabuk sutera ungu; rochet dari linen atau bahan sejenis (warna putih); mozeta (mantol kecil yang menutup pundak, dengan kancing di bagian depan) ungu; salib pektoral (salib dada) dengan tali anyaman warna hijau-emas (bukan dengan rantai); pileola (topi kecil yang juga dikenal dengan nama solideo) ungu; bireta (topi segi empat dengan pom) ungu; dan stocking/kaos kaki ungu.




Cappa magna (mantol kebesaran) ungu, tanpa bulu ermine, boleh dikenakan hanya di dalam wilayah keuskupan dan untuk perayaan-perayaan yang bersifat lebih agung. Uskup senantiasa mengenakan cincin, simbol kesetiaannya pada dan ikatan sucinya dengan Gereja, pengantinnya.

Uskup mengenakan busana di atas saat ia bepergian secara resmi ke atau dari suatu gereja, saat ia hadir pada suatu upacara liturgi (termasuk misa kudus dan berbagai pemberkatan) tapi tidak memimpinnya, dan pada saat lain yang ditentukan dalam Caeremoniale Episcoporum. Saat akan memimpin misa, Uskup yang tiba di gereja dengan busana liturgis di atas akan melepaskan cappa magna (bila dikenakan), salib pektoral, mozeta dan rochet, dan kemudian mengenakan amik, alba, singel, salib pektoral dengan tali anyaman warna hijau-emas, stola, dalmatik pontifikal (untuk misa agung) dan kasula serta pallium (khusus untuk metropolitan/uskup agung).

Busana Resmi (Untuk Acara Resmi Non-Liturgis)
Busana uskup untuk acara resmi non-liturgis adalah: jubah hitam setakat mata kaki dengan berbagai aksen merah (bukan ungu) di bagian tepi kain dan lubang kancing; paliola (mantol kecil yang menutup pundak, terbuka dan tanpa kancing di bagian depan) hitam dengan aksen merah (mantol ini opsional, boleh dikenakan boleh tidak); sabuk sutera ungu; salib pektoral dengan rantai; pileola ungu; collare ungu; stocking/kaos kaki ungu (kaos kaki ungu ini juga opsional).

Di daerah tropis, jubah dan paliola warna hitam dengan aksen merah ini sering diganti dengan putih atau krem muda dengan aksen merah. Ini praktik yang kita temui di Indonesia, di antaranya. Yang jelas, uskup dari negara tropis yang berkunjung ke Roma sebaiknya tidak mengenakan jubah warna putih, yang secara tradisi merupakan privilese paus. Catatan: menurut tradisi gereja katolik jubah warna hitam polos adalah untuk imam, ungu untuk uskup, merah untuk kardinal dan putih untuk paus.

Petasus (topi bertepi lebar) hitam, bila perlu, dapat ditambah dengan tali hijau. Ferraiolo (mantol panjang) dari sutera ungu hanya digunakan untuk acara-acara yang lebih resmi, misalnya wisuda di universitas katolik yang biasanya juga dihadiri uskup, berbagai acara kenegaraan dan lain-lain acara resmi non-liturgis. Jas/jaket panjang hitam biasa, yang dilengkapi penutup kepala sekalipun, boleh digunakan di atas busana resmi ini bila cuaca dingin mengharuskan.


Busana Sehari-hari
Busana uskup untuk keperluan sehari-hari adalah: jubah hitam polos setakat mata kaki (tanpa aksen merah); sabuk sutera ungu; salib pektoral dengan rantai; pileola ungu (opsional); collare ungu (opsional); stocking/kaos kaki hitam. Uskup yang berasal dari tarekat religius dapat mengenakan jubah institusinya. Cincin selalu dikenakan.


Mitra
Mitra dapat dikenakan uskup pada berbagai upacara liturgi yang penting. Pada prinsipnya mitra dikenakan uskup: saat duduk; saat menyampaikan homili; saat menyambut atau menyapa umat; saat berbicara kepada umat; saat menyampaikan ajakan untuk berdoa, kecuali bila sesaat sesudahnya ia harus melepasnya (untuk doa-doa tertentu); saat memberikan berkat meriah kepada umat; saat menerimakan sakramen; dan saat berjalan dalam prosesi.

Uskup tidak mengenakan mitra: selama ritus pembuka, doa pembuka, doa persembahan, dan doa sesudah komuni; selama doa umat, doa syukur agung, pembacaan injil, nyanyian yang dilagukan sambil berdiri, prosesi sakramen mahakudus; juga saat sakramen mahakudus ditakhtakan. Uskup tidak perlu menggunakan mitra dan tongkat saat ia berjalan dari satu tempat ke tempat lain yang dekat. Untuk mudahnya, mitra bisa dianalogikan dengan mahkota seorang raja. Raja akan mengenakan mahkotanya saat berhadapan dengan rakyat, tapi tidak saat berhadapan dengan Tuhan (saat berdoa, memimpin doa atau saat Tuhan hadir dalam rupa sakramen mahakudus).


Tongkat Gembala
Uskup selalu memegang tongkat dengan tangan kiri (dengan bagian yang melengkung menghadap ke umat) dan memberkati dengan tangan kanan.


Pileola
Pileola (topi kecil atau solideo) ungu senantiasa dikenakan uskup dalam berbagai acara liturgis, termasuk misa. Dalam misa, pileola hanya dilepas sesaat sebelum prefasi dimulai dan dikenakan kembali saat uskup duduk setelah komuni selesai.

Dalam misa, mitra dan tongkat mulai dikenakan di sakristi, setelah selesai mengenakan kasula dan pileola. Pada akhir prosesi masuk gereja, sesampainya di panti imam, tongkat diserahkan dan mitra dilepas, kemudian uskup memberikan penghormatan kepada sakramen mahakudus (bila ada, dengan berkutut) dan/atau altar (dengan membungkuk dalam), serta mencium altar bersama-sama dengan diakon (atau imam) yang mendampinginya.

Pada prinsipnya, mitra dipasang dan dilepas oleh diakon (atau imam) yang berada di sebelah kanan uskup, sementara tongkat diserahkan dan diambil oleh diakon (atau imam) yang berada di sebelah kiri uskup. Pada umumnya pileola dipasang dan dilepas oleh diakon (atau imam atau sekretaris pribadi uskup) yang berada di sebelah kiri belakangnya. Magister caeremoniarum dapat melaksanakan semua ini, bila dikehendaki. Diakon, imam, atau magister caeremoniarum, menerima/menyerahkan pileola, mitra dan tongkat dari/kepada misdinar yang mengenakan velum.

Mayoritas imam atau diakon biasanya segan memasang dan melepas mitra dan pileola ini, karena menyangkut kepala uskup. Uskup pun mungkin merasa bisa melakukannya sendiri. Akan tetapi, ya beginilah seharusnya seorang pemimpin, dilayani oleh para pembantunya, setidaknya, saat upacara liturgi atau acara resmi lain di depan umum. Ini masalah kebiasaan saja sebenarnya, bukan soal tidak ingin dilayani. Uskup atau imam yang cuci tangan sebelum konsekrasi juga dilayani oleh misdinar, meski sebenarnya mereka bisa saja datang ke meja samping dan cuci tangan sendiri.

No comments:

Post a Comment