Belakangan ini kita sering mendengar tentang Misa Tridentine atau Tridentine Latin Mass, terutama para pengguna situs jejaring sosial baik itu Facebook, kaskus, Twitter, Multiply dll atau juga para pengguna blog mulai dari blogspot sampai dengan wordpress, karena belakangan ini begitu banyak situs-situs yang membahas soal Misa ini. Timbul pertanyaan dalam benak kita, “seperti apa misa ini?” dan “mengapa baru belakangan ini hangat dibicarakan orang?”
Bagi generasi tua/orang-orang tua di gereja katolik, istlah Misa Tridentine jelas sudah tidak asing lagi, malahan istilah ini biasanya membuka memori dan kenangan mereka akan masa-masa saat mereka muda dulu. Tapi bagi beberapa kaum muda Katolik, istilah Misa Tridentin akan terdengar asing dan baru. Untuk itu marilah kita sedikit mundur ke belakang..(sepertinya klo mundur pasti ke belakang ya...hehehe) melihat sejarah dari Misa Tridentine ini.
KONSILI TRENTE
Konsili Trente adalah Konsili Ekumenis Gereja Katolik Roma ke-19, yang dianggap sebagai salah satu konsili paling penting Gereja dan boleh dikatakan Konsili ini sebagai Reformasi Gereja Katolik sebagai tanggapan dari Gereja Katolik atas gerakan Protestan yang dianggap sebagai Kontra-Reformasi oleh Gereja Katolik. (Protestan sendiri menamakan gerakan mereka sebagai gerakan reformasi). Di mulai di Trente-Italia, pada tanggal 13 Desember 1545, Konsili ini diselenggarakan selama 3 (tiga) periode yaitu 1545-1547; 1551-1552 dan terakhir 1562-1563, tepatnya pada tanggal 4 Desember 1563. Doktrin Katolik mengenai Penyelamatan Jiwa, Sakramen Suci, dan Kanon-kanon Kitab Suci, menjawab semua bantahan pihak Protestan, dirinci dalam konsili ini.
Sri Paus diberi kepercayaan untuk penyempurnaan beberapa bagian dari hasil kerjanya, dengan diterbitkannya buku-buku pada tahun 1556 oleh Paus Pius V tentang : Katekisme Roma; Doa-doa Harian Resmi Gereja atau dikenal dengan nama Liturgia Horarum (disempurnakan tahun 1568), serta menerbitkan Buku Missale Romanum (disempurnakan tahun 1570) yang kemudian dikenal dengan nama Misa Tridentine (diambil dari nama kota Tridentium). Hasil lainnya adalah buku Versio Vulgata (edisi penyempurnaan Kitab Suci berbahasa Latin) oleh Paus Klemens VIII pada tahun 1592
MISA TRIDENTINE
Misa Tridentine mengambil nama dari Konsili Trente (1545-1563) berdasarkan Bulla Quo Primum oleh Paus Pius V, yang memuat sedikit penyesuaian dari ritus Roma. Namun demikian, secara garis besar, Misa Tridentine tidaklah memasukkan praktek baru yang berbeda dengan tradisi penyembahan yang telah berlangsung secara organik di Roma dan negara- negara Eropa sejak tahun 300-an.
Semua bagian dari Tridentine menggunakan bahasa Latin. Ini yang menyebabkan banyak orang menyebut misa ini MISA LATIN. Di sini terjadi kesalahan dalam penyebutan. Misa Paulus VI yang berbahasa Indonesia, Inggris ataupun Mandarin atau bahasa apapun adalah MISA LATIN, dan jangan lupa bahwa normatifnya Novus Ordo pun seharusnya menggunakan bahasa Latin. Misa Tridentine itu juga adalah Roman Mass (misa romawi). Ritusnya saja yang berbeda.
Sejak Konsili Vatikan II ritus ini tidak dilarang, hanya prakteknya tidak dianjurkan serta diperlukan izin dari Uskup, yang disebut "indult". Tanpa indult, seorang Imam tidak diizinkan merayakan misa dalam ritus ini.
Namun dalam perkembangan selanjutnya, Dalam Motu Proprio Summorum Pontificum 7 Juli 2007 Paus Benedictus XVI mengeluarkan surat Apostolik yang bernama Summorum Pontificum, dimana salah satu hal yang menjadi kekhasan dari surat Apostolik ini adalah : “Umat Katolik diizinkan untuk merayakan misa dalam bahasa Latin versi yang lama yakni Misa Bahasa Latin tahun 1962” (Surat Apostolik ini secara resmi mulai berlaku mulai tanggal 14 September 2007). Diresmikannya pemberlakuan dalam surat Apostolik inilah maka sejak tanggal 14 September 2007, para imam bisa dengan bebas merayakan perayaan Ekaristi berbahasa Latin bersama dengan umat.
Misa bahasa Latin yang dimaksudkan oleh Paus Benedictus XVI ini adalah Misa Bahasa Latin Versi Paus Yohanes XXIII tahun 1962, dengan tatacara liturgi yang khas, misalnya imam membelakangi umat pada saat doa-doa tertentu, dan menghadap umat pada doa-doa tertentu.
Latar belakang yang mendalam dari pemberian izin ini adalah kerinduan yang terdalam dari pemimpin Gereja tertinggi (Sri Paus) untuk merangkul semua umat Katolik dalam kesatuan Gereja yang semakin mendalam, dan dapat memberikan kedamaian rohani yang semakin mendalam pula.
Paus Benediktus XVI saat memimpin misa tridentine |
Tentu hal ini amat bernilai bagi Gereja katolik, mengingat liturgi dalam Gereja katolik amatlah kaya. Disisi lain, Kita sebagai umat Katolik, tidak hanya diperkaya dengan tata cara liturgi misa bahasa Latin, tetapi semakin bangga dan menyatu dengan bahasa Latin, sebagai sarana ekspresi Gereja selama berabad-abad. Lagi pula, misa bahasa Latin ini akan membuat kita semakin menyatu dan mencitntai lagu-lagu Gregorian, sebagai kekayaan Gereja kita yang luar biasa, yang harus dilestarikan dan dipelihara, sesuai dengan apa yang tercantum dalam dokumen-dokumen Sacrosanctum Concillium (SC).
Yang dimakssud dengan Misa bahasa Latin di sini adalah misa versi Paus Yohanes XXIII tahun 1962, sedangkan misa yang kita pakai sekarang ini adalah misa Versi Paus Paulus VI tahun 1970, sebuah tata Perayaan Ekaristi yang sesuai dengan ajaran Konsili Vatikan II, di mana versi Perayaan Ekaristi Paus Paulus VI ini tampil dalam edisi berikutnya pada tahun 1975, dan pada edisi terakhir tahun 2002.
Satu hal penting yang perlu kita ketahui bersama, bahwa dengan diberlakukannya Summorum Pontificum bukan berarti kita meniadakan Tata Perayaan Ekaristi (TPE) yang selalu kita jalankan sekarang ini. Misa Bahasa Latin adalah salah satu tradisi yang harus dilestarikan dan dipelihara dengan tujuan semakin memperkaya TPE itu sendiri.
TPE sekarang ini tetaplah merupakan bentuk biasa dan baku dari Perayaan Ekaristi. Kita tetap merayakannya sebagai Perayaan Ekaristi umat. Izin menggunakan bahasa Latin itu lebih terarah kepada kelompok-kelompok umat yang memiliki kerinduan akan Misa Tridentine, baik di biara-biara, seminari, kelompok kategorial, kelompok lingkungan, institusi tertentu.
Ada beberapa negara yang memberi kelonggaran untuk melaksanakan Misa Tridentine sebagai misa paroki. Tidak demikian untuk kita di Indonesia. Misa Tridentine ini janganlah dipaksakan sebagai misa paroki atau stasi secara wajib. Tetapi jika seluruh paroki sudah siap, setelah terlatih dalam jangka waktu yang cukup, maka tak ada salahnya umat merayakan misa bahasa Latin di paroki. Tetapi itu pun tidak setiap minggu, karena kita tetap pada TPE resmi kita yang sekarang ini.
Ada perbedaan tatacara antara Misa Tridentine dengan Novus Ordo (tidak banyak). Misa Tridentine mempunyai kekhasan tatacara, contohnya :
- Hanya ada dua bacaan saja dalam misa tridentine, sementara dalam Novus Ordo yang biasa kita lakukan setiap hari Minggu, ada tiga bacaan dalam liturgi sabda
- Posisi Imam dalam Tridentine menghadap ke Tabernakel, atau ke arah Timur (yang mana kaidah pembangunan gereja seharusnya menghadap ke Timur, arah Matahari terbit) atau ad orientem.
- Dalam Doa Syukur Agung ada penyebutan nama Santo-Santa, dengan suasana keheningan yang luar biasa. Misdinar akan mengangkat kasula pastor saat pengangkatan hosti dan anggur
- Pada bagian akhir, ada Injil Terakhir yang diambil dari kitab Yohannes yang dibacakan oleh pastor (dengan bahasa Latin), dan saat mengucapkan et Verbum caro Factum est semuanya berlutut
SUMMORUM PONTIFICUM
LITTERAE APOSTOLICAE
MOTU PROPRIO DATAE
BENEDICTUS XVI
__________________
SUMMORUM PONTIFICUM cura ad hoc tempus usque semper fuit, ut Christi Ecclesia Divinae Maiestati cultum dignum offerret, «ad laudem et gloriam nominis Sui» et «ad utilitatem totius Ecclesiae Suae sanctae».
Ab immemorabili tempore sicut etiam in futurum, principium servandum est «iuxta quod unaquaeque Ecclesia particularis concordare debet cum universali Ecclesia non solum quoad fidei doctrinam et signa sacramentalia, sed etiam quoad usus universaliter acceptos ab apostolica et continua traditione, qui servandi sunt non solum ut errores vitentur, verum etiam ad fidei integritatem tradendam, quia Ecclesiae lex orandi eius legi credendi respondet»1.
Inter PontÃfices qui talem debitam curam adhibuerunt, nomen excellit sancti Gregorii Magni, qui tam fidem catholicam quam thesauros cultus ac culturae a Romanis in saeculis praecedentibus cumulatos novis Europae populis transmittendos curavit. Sacrae Liturgiae tam Missae Sacrificii quam Officii Divini formam, uti in Urbe celebrabatur, definiri conservarique iussit. Monachos quoque et moniales maxime fovit, qui sub Regula sancti Benedicti militantes, ubique simul cum Evangelii annuntiatione illam quoque saluberrimam Regulae sententiam vita sua illustrarunt, «ut operi Dei nihil praeponatur» (cap. 43). Tali modo sacra liturgia secundum morem Romanum non solum fidem et pietatem sed et culturam multarum gentium fecundavit. Constat utique liturgiam latinam variis suis formis Ecclesiae in omnibus aetatis christianae saeculis permultos Sanctos in vita spirituali stimulasse atque tot populos in religionis virtute roborasse ac eorundem pietatem fecundasse.
Ut autem Sacra Liturgia hoc munus efficacius expleret, plures alii Romani Pontifices decursu saeculorum peculiarem sollicitudinem impenderunt, inter quos eminet Sanctus Pius V, qui magno cum studio pastorali, Concilio Tridentino exhortante, totum Ecclesiae cultum innovavit, librorum liturgicorum emendatorum et «ad normam Patrum instauratorum» editionem curavit eosque Ecclesiae latinae usui dedit.
Inter Ritus romani libros liturgicos patet eminere Missale Romanum, quod in romana urbe succrevit, atque succedentibus saeculis gradatim formas assumpsit, quae cum illa in generationibus recentioribus vigente magnam habent similitudinem.
«Quod idem omnino propositum tempore progrediente Pontifices Romani sunt persecuti, cum novas ad aetates accommodaverunt aut ritus librosque liturgicos determinaverunt, ac deinde cum ineunte hoc nostro saeculo ampliorem iam complexi sunt redintegrationem»2. Sic vero egerunt Decessores nostri Clemens VIII, Urbanus VIII, sanctus Pius X 3, Benedictus XV, Pius XII et beatus Ioannes XXIII.
Recentioribus autem temporibus, Concilium Vaticanum II desiderium expressit, ut debita observantia et reverentia erga cultum divinum denuo instauraretur ac necessitatibus nostrae aetatis aptaretur. Quo desiderio motus, Decessor noster Summus Pontifex Paulus VI libros liturgicos instauratos et partim innovatos anno 1970 Ecclesiae latinae approbavit; qui ubique terrarum permultas in linguas vulgares conversi, ab Episcopis atque a sacerdotibus et fidelibus libenter recepti sunt. Ioannes Paulus II, tertiam editionem typicam Missalis Romani recognovit. Sic Romani Pontifices operati sunt ut «hoc quasi aedificium liturgicum [...] rursus, dignitate splendidum et concinnitate» appareret 4.
Aliquibus autem in regionibus haud pauci fideles antecedentibus formis liturgicis, quae eorum culturam et spiritum tam profunde imbuerant, tanto amore et affectu adhaeserunt et adhaerere pergunt, ut Summus Pontifex Ioannes Paulus II, horum fidelium pastorali cura motus, anno 1984 speciali Indulto "Quattuor abhinc annos", a Congregatione pro Cultu Divino exarato, facultatem concessit utendi Missali Romano a Ioanne XXIII anno 1962 edito; anno autem 1988 Ioannes Paulus II iterum, litteris Apostolicis "Ecclesia Dei" Motu proprio datis, Episcopos exhortatus est ut talem facultatem late et generose in favorem omnium fidelium id petentium adhiberent.
Instantibus precibus horum fidelium iam a Praedecessore Nostro Ioanne Paulo II diu perpensis, auditis etiam a Nobis Patribus Cardinalibus in Concistorio die XXIII mensis martii anni 2006 habito, omnibus mature perpensis, invocato Spiritu Sancto et Dei freti auxilio, praesentibus Litteris Apostolicis DECERNIMUS quae sequuntur:
Art. 1. Missale Romanum a Paulo VI promulgatum ordinaria expressio "Legis orandi" Ecclesiae catholicae ritus latini est. Missale autem Romanum a S. Pio V promulgatum et a B. Ioanne XXIII denuo editum habeatur uti extraordinaria expressio eiusdem "Legis orandi" Ecclesiae et ob venerabilem et antiquum eius usum debito gaudeat honore. Hae duae expressiones "legis orandi" Ecclesiae, minime vero inducent in divisionem "legis credendi" Ecclesiae; sunt enim duo usus unici ritus romani.
Proinde Missae Sacrificium, iuxta editionem typicam Missalis Romani a B. Ioanne XXIII anno 1962 promulgatam et numquam abrogatam, uti formam extraordinariam Liturgiae Ecclesiae, celebrare licet. Conditiones vero a documentis antecedentibus "Quattuor abhinc annos" et "Ecclesia Dei" pro usu huius Missalis statutae, substituuntur ut sequitur:
Art. 2. In Missis sine populo celebratis, quilibet sacerdos catholicus ritus latini, sive saecularis sive religiosus, uti potest aut Missali Romano a beato Papa Ioanne XXIII anno 1962 edito, aut Missali Romano a Summo Pontifice Paulo VI anno 1970 promulgato, et quidem qualibet die, excepto Triduo Sacro. Ad talem celebrationem secundum unum alterumve Missale, sacerdos nulla eget licentia, nec Sedis Apostolicae nec Ordinarii sui.
Art. 3. Si communitates Institutorum vitae consecratae atque Societatum vitae apostolicae iuris sive pontificii sive dioecesani quae in celebratione conventuali seu "communitatis" in oratoriis propriis celebrationem sanctae Missae iuxta editionem Missalis Romani anno 1962 promulgatam habere cupiunt, id eis licet. Si singula communitas aut totum Institutum vel Societas tales celebrationes saepe vel plerumque vel permanenter perficere vult, res a Superioribus maioribus ad normam iuris et secundum leges et statuta particularia decernatur.
Art. 4. Ad celebrationes sanctae Missae de quibus supra in art. 2 admitti possunt, servatis de iure servandis, etiam christifideles qui sua sponte id petunt.
Art. 5, § 1. In paroeciis, ubi coetus fidelium traditioni liturgicae antecedenti adhaerentium continenter exsistit, parochus eorum petitiones ad celebrandam sanctam Missam iuxta ritum Missalis Romani anno 1962 editi, libenter suscipiat. Ipse videat ut harmonice concordetur bonum horum fidelium cum ordinaria paroeciae pastorali cura, sub Episcopi regimine ad normam canonis 392, discordiam vitando et totius Ecclesiae unitatem fovendo.
§ 2. Celebratio secundum Missale B. Ioannis XXIII locum habere potest diebus ferialibus; dominicis autem et festis una etiam celebratio huiusmodi fieri potest.
§ 3. Fidelibus seu sacerdotibus id petentibus, parochus celebrationes, hac in forma extraordinaria, permittat etiam in adiunctis peculiaribus, uti sunt matrimonia, exsequiae aut celebrationes occasionales, verbi gratia peregrinationes.
§ 4. Sacerdotes Missali B. Ioannis XXIII utentes, idonei esse debent ac iure non impediti.
§ 5. In ecclesiis, quae non sunt nec paroeciales nec conventuales, Rectoris ecclesiae est concedere licentiam de qua supra.
Art. 6. In Missis iuxta Missale B. Ioannis XXIII celebratis cum populo, Lectiones proclamari possunt etiam lingua vernacula, utendo editionibus ab Apostolica Sede recognitis.
Art. 7. Ubi aliquis coetus fidelium laicorum, de quo in art. 5 § 1 petita a parocho non obtinuerit, de re certiorem faciat Episcopum dioecesanum. Episcopus enixe rogatur ut eorum optatum exaudiat. Si ille ad huiusmodi celebrationem providere non potest res ad Pontificiam Commissionem "Ecclesia Dei" referatur.
Art. 8. Episcopus, qui vult providere huiusmodi petitionibus christifidelium laicorum, sed ob varias causas impeditur, rem Pontificiae Commissioni "Ecclesia Dei" committere potest, quae ei consilium et auxilium dabit.
Art. 9, § 1. Parochus item, omnibus bene perpensis, licentiam concedere potest utendi rituali antiquiore in administrandis sacramentis Baptismatis, Matrimonii, Poenitentiae et Unctionis Infirmorum, bono animarum id suadente.
§ 2. Ordinariis autem facultas conceditur celebrandi Confirmationis sacramentum utendo Pontificali Romano antiquo, bono animarum id suadente.
§ 3. Fas est clericis in sacris constitutis uti etiam Breviario Romano a B. Ioanne XXIII anno 1962 promulgato.
Art 10. Fas est Ordinario loci, si opportunum iudicaverit, paroeciam personalem ad normam canonis 518 pro celebrationibus iuxta formam antiquiorem ritus romani erigere aut rectorem vel cappellanum nominare, servatis de iure servandis.
Art. 11. Pontificia Commissio "Ecclesia Dei" a Ioanne Paulo II anno 1988 erecta5, munus suum adimplere pergit.
Quae Commissio formam, officia et normas agendi habeat, quae Romanus Pontifex ipsi attribuere voluerit.
Art. 12. Eadem Commissio, ultra facultates quibus iam gaudet, auctoritatem Sanctae Sedis exercebit, vigilando de observantia et applicatione harum dispositionum.
Quaecumque vero a Nobis hisce Litteris Apostolicis Motu proprio datis decreta sunt, ea omnia firma ac rata esse et a die decima quarta Septembris huius anni, in festo Exaltationis Sanctae Crucis, servari iubemus, contrariis quibuslibet rebus non obstantibus.
Datum Romae, apud Sanctum Petrum, die septima mensis Iulii, anno Domini MMVII, Pontificatus Nostri tertio.
BENEDICTUS PP. XVI
______________________
1 Institutio generalis Missalis Romani, Editio tertia, 2002, 397
2 Ioannes Paulus Pp. II, Litt. ap. Vicesimus quintus annus (4 Decembris 1988), 3: AAS 81 (1989), 899.
3 Ibid.
4 Pius Pp. X, Litt. Ap. Motu proprio datae Abhinc duos annos (23 Octobris 1913): AAS 5 (1913), 449-450; cfr Ioannes Paulus II, Litt. ap. Vicesimus quintus annus (4 Decembris 1988), 3: AAS 81 (1989), 899.
5 Cfr Ioannes Paulus Pp. II, Litt. ap. Motu proprio datae Ecclesia Dei (2 iulii 1988), 6: AAS 80 (1988), 1498.
berikut adalah terjemahan tidak resmi dari surat Apostolik yang dikeluarkan oleh Paus Benedictus XVI :
SURAT APOSTOLIK SUMORUM PONTIFICUM
DARI PAUS TERTINGGI BENEDIKTUS XVI
DIBERIKAN ATAS MOTU PROPIO SENDIRI
Sampai saat ini, selalu menjadi kepedulian konstan dari Paus Tertinggi untuk menjamin bahwa Gereja Kristus menawarkan sebuah penyembahan yang layak kepada Keilahian Agung (Divine Majesty), ‘untuk memuji dan memuliakan namaNya,’ dan ‘untuk menguntungkan semua Gereja KudusNya.’
Sejak waktu lampau yang tak dapat diingat, selalulah perlu – sebagaimana juga untuk masa depan – untuk menjaga prinsip dimana ‘setiap Gereja partikular harus setuju dengan Gereja universal, tidak hanya dalam hal ajaran iman dan tanda-tanda sakramental, tapi juga dalam hal penggunaan-penggunaan (usages, catatan: maksudnya kira-kira “tata cara” yang diterima secara universal oleh tradisi apostolik yang takterputuskan, yang harus dipatuhi tidak hanya untuk menghindari kesalahan tapi juga untuk meneruskan integritas iman, karena hukum doa Gereja berhubungan dengan hukum iman Gereja’ (1)
Diantara Paus yang menunjukkan kepedulian yang perlu itu, terutama yang mencolok, adalah nama St. Gregorius Agung, yang mengusahakan dengan segenap tenaga untuk menjamin agar orang-orang baru Eropa menerima baik iman Katolik serta harta karun penyembahan dan kebudayaan yang telah dikumpulkan oleh orang romawi pada abad-abad sebelumnya. Dia memerintahkan bahwa bentuk dari liturgi kudus seperti yang dirayakan di Roma (berkenaan dengan Korban Misa dan Divine Office) dipelihara. Beliau berkepedulian besar untuk menjamin penyebaran rahib-rahib dan biarawati-biarawati yang, mengikuti Aturan St. Benediktus bersamaan dengan pengabaran injil, memperlihatkan dengan kehidupan mereka penjagaan yang bijaksana dari Aturan mereka bahwa ‘tidak satupun yang harus ditempatkan didepan karya Allah.’ [catatan: maksudnya, selain mengabarkan injil, yang merupakan tugas utama, Paus St. Gregorius Agung juga menjaga agar para Benediktin tersebut tetap mempertunjukkan kekhasan dari Aturan St. Benediktus yang menjadi jati diri mereka]. Dengan cara ini liturgi kudus, yang dirayakan sesuai penggunaan Roma (Roman use), memperkaya tidak hanya iman dan kesalehan tapi juga budaya banyak orang. Telah diketahui, memang, bahwa liturgi Latin dari Gereja dalam berbagai bentuknya, disetiap abad dari era Kristen, telah mendorong kehidupan spiritual dari banyak para kudus, telah menguatkan banyak orang dalam kebajikan-kebajikan religius dan menumbuhkan kesalehan mereka.
Banyak Paus Roma lain, seiring berjalannya abad, menunjukkan ajakan/tawaran (solicitude) tertentu dalam menjamin bahwa liturgi kudus mencapai tugas ini [ie. mendorong kehidupan spiritual, menguatkan orang dalam kebajikan-kebajikan religius dan menumbuhkan kesalehan mereka] secara lebih efektif. Yang paling menonjol adalah St. Pius V yang, dikuatkan oleh keinginan pastoral dan mengikuti anjuran (exhortation) dari Konsili Trent, memperbaharui seluruh liturgi Gereja, mengawasi publikasi buku-buku liturgi yang di koreksi dan di-’perbaharui sesuai dengan norma-norma dari para Bapa, ‘ dan menyediakannya bagi kegunaan Gereja Latin.
Salah satu buku-buku Liturgi dari Ritus Roma adalah Misa Roma, yang dikembangkan di kota Roma dan, dengan berlalunya abad, sedikit demi sedikit mengambil bentuk-bentuk yang mirip dengan apa yang telah dipunyainya pada waktu akhir-akhir ini.
‘Adalah karena tujuan yang sama ini maka para Paus Roma berikutnya mengerahkan energi mereka selama abad-abad selanjutnya untuk menjamin agar ritus-ritus dan buku-buku liturgi dibuat up to date dan kalau perlu diperjelas. Dari permulaan abad ini mereka [ie. ritus-ritus dan buku-buku liturgi] mengalami suatu reformasi yang lebih umum.’ (2) Karena itu para pendahulu kami Clement VIII, Urban VIII, St. Pius X (3), Benedict XV, Pius XII dan Yohanes XXIII Yang Berbahagia semuanya memainkan peran.
Di masa yang lebih akhir, Konsili Vatikan II mengekspresikan keinginan bahwa penghormatan khusuk yang patut bagi penyembahan ilahi harus diperbaharui dan diadaptasi untuk kebutuhan masa kita. Digerakkan oleh keinginan ini pendahulu kami, Paus Tertinggi Paulus VI, mengijinkan, pada 1970, reformasi dan memperbaharui sebagian buku-buku liturgis bagi Gereja Latin. [Buku-buku liturgis] ini, yang diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dunia, diterima oleh para Uskup, romo dan umat beriman. Yohanes Paulus II mengkoreksi edisi tipikal ketiga dari Misa Roma. Karenanya para Paus Roma telah bekerja untuk menjamin bahwa ‘pembangunan liturgi sejenis ini … harus muncul lagi [dan terlihat] cerah [karena] kehormatannya dan keharmonisannya.’ (4)
Tapi di beberapa daerah, tidak sedikit jumlah umat beriman yang menyukai (adhered) dan terus menyukai (adhere) dengan cinta dan sayang yang besar kepada bentuk-bentuk liturgis yang awal. [Bentuk-bentuk liturgis yang awal ini] telah begitu tertoreh dalam kebudayaan dan jiwa mereka sehingga pada 1984 Paus Tertinggi Yohanes Paulus II, digerakkan oleh kepedulian bagi pelayanan pastoral untuk umat beriman, dengan indult khusus ‘Quattuor abhinc anno,” mengeluarkan melalui Kongregasi Penyembahan Ilahi, ijin bagi penggunaan Misa Roma yang dipublikasikan oleh Yohanes XXIII Yang Berbahagia pada tahun 1962. Kemudian di tahun 1988, Yohanes Paulus II dengan Surat Apostolik yang diberikan sebagai Motu Proprio, ‘Ecclesia Dei,’ menganjurkan para Uskup untuk dengan dermawan menggunakan kuasa ini [ie. kuasa untuk memberi ijin pengadaan Misa Roma yang dipublikasikan oleh Yohanes XXIII Yang Berbahagia] bagi semua umat beriman yang menginginkannya.
Dengan mengikut doa tak kenal lelah dari para umat beriman [yang menyukai Misa Roma yang dipublikasikan Paus Yohanes XXIII Yang Berbahagia] ini, [dimana doa tersebut] sejak lama telah dipertimbangkan oleh Pendahulu Kami Yohanes Paulus II, dan setelah mendengarkan pandangan-pandangan dari para Bapa Kardinal dari Konsistori tanggal 22 Maret 2006, setelah merefleksikan secara dalam atas semua aspek dari pertanyaan, [dengan] memanggil Roh Kudus dan mempercayakan kepada bantuan Allah, dengan Surat Apostolik ini Kami menetapkan sebagai berikut
Art. 1
Misa Roma yang dipromulgasikan oleh Paulus VI adalah ekspresi biasa dari Lex orandi (hukum doa) dari Gereja Katolik Ritus Latin. Bagaimanapun, Misa Roma yang dipromulgasikan oleh St. Pius V dan di-issue-kan kembali oleh Yohanes XXIII Yang Berbahagia akan dianggap sebagai ekspresi luarbiasa dari Lek orandi yang sama [tersebut], dan harus diberi penghormatan yang selayaknya bagi kegunaannya yang terhormat (venerable) dan purba. Dua ekspresi dari Lex orandi Gereja ini tidak akan, dalam cara apapun, mengarah pada sebuah perpecahan dalam Lex credendi (Hukum kepercayaan/syahadat) Gereja. Mereka [Misa Paulus VI dan Misa St. Pius V], pada faktanya adalah dua penggunaan (usages) dari satu ritus Roma.
Karena itu, adalah diijinkan untuk merayakan Korban Misa dengan mengikuti edisi tipikal dari Misa Roma yang dipromulgasikan oleh Yohanes XXIII Yang Berbahagia pada 1962 dan tidak pernah dibatalkan (abrogated), sebagai suatu bentuk luarbiasa dari Liturgi Gereja. Kondisi-kondisi [atau syarat-syarat] untuk penggunaan Misa ini seperti yang ditetapkan di dokumen sebelumnya Quattuor abhinc annis dan Ecclesia Dei, diganti sebagai berikut:
Art. 2
dalam Misa yang dirayakan tanpa orang [ie. kongregasi], setiap imam/romo (priest) dari ritus Latin, baik sekular maupun regular, boleh menggunakan Misa Roma yang dipublikasikan oleh Paus Yohanes XXIII Yang Berbahagia pada 1962, atau Misa Roma yang dipromulgasikan oleh Paus Paulus VI pada 1970, dan bisa melakukannya pada hari apapun dengan pengecualian pada Tridum Paskah. Untuk perayaan-perayaan seperti itu, baik dengan satu Misa atau yang lain, imam/Romo (priest) tidak memerlukan ijin dari Tahta Apostolik atau dari Ordinari-nya.
Art. 3
Komunitas dari Institut hidup terkonsekrasi dan [komunitas dari] Masyarakat (Society)hidup apostolik, baik dari kepausan maupun dari keuskupan, yang ingin merayakan Misa sesuai dengan edisi Misa Roma yang dipromulgasikan pada 1962, untuk perayaan conventual atau “komunitas” di oratori mereka, bisa melakukannya. Jika sebuah komunitas individu atau seluruh Institusi atau Masyarakat (Society) berkeinginan untuk melakukan perayaan seperti itu dengan lebih sering, [menjadikannya sebuah] kebiasaan atau secara permanen, [maka] keputusan itu harus dibuat oleh Superiors Major, sesuai dengan hukum dan mengikuti statuta dan dekrit spesifik mereka.
Art. 4
Perayaan Misa seperti yang disebut di art. 2 boleh – dengan mengikuti semua norma hukum – juga dihadiri oleh umat beriman yang, karena kehendak bebas mereka sendiri, meminta untuk diijinkan ikut.
Art. 5
§ 1 Di paroki-paroki dimana ada satu kelompok umat beriman yang stabil [jumlahnya] yang suka (adhere) terhadap tradisi liturgi yang lebih awal, para pastor harus berkehendak untuk menerima permintaan mereka untuk merayakan Misa sesuai dengan ritus Misa Roma yang dipublikasikan pada 1962, dan menjamin bahwa kesejahteraan para umat beriman ini [berada dalam] harmoni dengan pelayanan pastoral biasa dari paroki tersebut, dibawah pengarahan Uskup sesuai dengan kanon 392, [untuk] menghindari perselisihan dan mengutamakan (favouring) kesatuan dari Gereja keseluruhan.
§ 2 Perayaan sesuai dengan Misa Yohanes XXIII Yang Berbahagia bisa diadakan pada hari-hari kerja; sementara pada Minggu dan hari raya-hari raya satu perayaan seperti itu juga bisa diadakan.
§ 3 Bagi umat beriman dan romo-romo yang menginginkannya, sang pastor juga harus mengijinkan perayaan dalam bentuk luarbiasa ini bagi peristiwa spesial seperti perkawinan, pemakaman atau perayaan tertentu [lainnya], misalnya, peziarahan.
§ 4 Romo-romo yang menggunakan Misa Yohanes XXIII Yang Berbahagia harus mempunyai kualifikasi untuk melakukannya dan tidak terhalangi secara yuridis.
§ 5 dalam gereja-gereja yang bukan paroki atau gereja conventual, adalah tugas dari Rektor Gereja untuk memberikan ijin seperti diatas.
Art. 6
dalam Misa yang dirayakan dengan kehadiran orang-orang sesuai Misa Yohanes XXIII Yang Berbahagia, bacaannya boleh diberikan dalam bahasa ibu, menggunakan edisi yang diakui oleh Tahta Suci.
Art. 7
Jika sebuah kelompok umat beriman awam, seperti yang disebut di art. 5 § 1, tidak mendapatkan kepuasan atas permintaan mereka dari sang pastor, mereka harus menginformasikan kepada uskup [dari keuskupan yang bersangkutan]. Uskup diminta dengan sangat untuk memuaskan keinginan mereka. Jika dia [Uskup] tidak bisa mengatur agar perayaan [Misa Roma 1962] diadakan, masalah ini harus diacukan/diarahkan kepada Komisi Kepausan “Ecclesia Dei”.
Art. 8
Seorang Uskup yang, berkeinginan untuk memuaskan permintaan seperti itu, tapi yang karena berbagai alasan tidak dapat melakukannya, boleh mengacu/mengarahkan masalah tersebut kepada Komisi “Ecclesia Dei” untuk mendapatkan bimbingan dan bantuan.
Art. 9
§ 1 Para pastor, setelah dengan cermat memeriksa semua aspek, juga boleh memberikan ijin untuk menggunakan ritual yang lebih awal untuk adminstrasi sakramen Baptis, Perkawinan, Tobat dan Perminyakan, jika kebaikan jiwa-jiwa tampak memerlukannya.
§ 2 Para Ordinari diberikan hak untuk merayakan Sakramen Krisma dengan menggunakan Roman Pontifical yang lebih awal, jika kebaikan jiwa-jiwa tampak memerlukannya.
§ 3 Klerus yang ditahbis “in sacris constitutis” boleh menggunakan Roman Breviary yang dipromulgasikan olehYohn XXIII Yang Berbahagia pada 1962.
Art. 10
Ordinari dari tempat tertentu, jika dia merasa patut, boleh mendirikan sebuah paroki pribadi sesuai dengan can. 518 untuk perayaan-perayaan mengikuti bentuk purba dari ritus Roma, atau menunjuk chaplain, sementara menaati semua norma-norma hukum.
Art. 11
Komisi Kepausan “Ecclesia Dei”, yang didirikan oleh Yohanes Paulus II pada 1988, tetap melakukan fungsinya. Komisi tersebut akan mendapat bentuk, tugas dan norma-norma seperti yang diinginkan Paus Roma untuk diberikan pada mereka.
Art. 12
Komisi ini, terlepas dari kuasa yang dimilikinya, akan men-daya-kan (exercise) otoritas dari Tahta Suci, [yaitu] mengawasi kepatuhan dan aplikasi dari disposisi-disposisi ini.
Kami memerintahkan bahwa apa yang Kami tetapkan dengan Surat Apostolik yang dikeluarkan sebagai Motu Propio dianggap sebagai “tertetapkan dan terdekritkan”, dan akan dijalankan dari 14 September tahun ini, [pada] Perayaan Pengangkatan salib, whatever there may be to the contrary (catatan: sebuah ungkapan yang aku gak tahu apa artinya).
Dari Roma, di St Petrus [Basilika], 7 Juli 2007, tahun ketiga dari Kepausan Kami.
(1) Instruksi Umum Misa Roma, edisi ke-3., 2002, no. 397.
(2) Yohanes Paulus II, Surat Apostolik “Vicesimus quintus annus,” 4 Desember 1988, 3: AAS 81 (1989), 899.
(3) Ibid.
(4) St. Pius X, Surat Apostolik Motu propio data, “Abhinc duos annos,” 23 Oktober 1913: AAS 5 (1913), 449-450; cf Yohanes Paulus II, Surat Apostolik “Vicesimus quintus annus,” no. 3: AAS 81 (1989), 899.
(5) Cf Yohanes Paulus II, Surat Apostolik Motu proprio data “Ecclesia Dei,” 2 Juli 1988, 6: AAS 80 (1988), 1498.
BENEDICTUS PP. XVI
Berbagai pertanyaan muncul sehubungan dengan kelonggaran untuk melakukan Misa Tridentine berdasarkan surat Apostolik Paus Benedictus XVI (Summorum Pontificum) tersebut. Paus pun menganggapinya sebagai berikut :
- Motu Proprio ini adalah sekedar tindakan toleransi dengan tujuan pastoral bagi mereka yang dibesarkan dalam liturgi ini, bagi yang mencintainya, dan yang merasa akrab serta ingin menghidupi liturgi ini
- Tidak ada pertentangan diantara liturgi pra-Konsili dan pasca-Konsili
- Harus diingat bahwa Para Bapa Konsili Vatikan II pun setiap hari merayakan liturgi dengan menggunakan ritus pra Konsili yang umum disebut sebagai “Misa Tridentine”.
- Akan ada saling memperkaya diantara kedua bentuk liturgi ini
- Tatacara Misa hasil pembaruan Konsili Vatikan II akan tetap menjadi bentuk biasa dari Perayaan Ekaristi Gereja Latin
dari berbagai sumber
Ini kunjungan saya yg pertama. Terima kasih, tambah ilmu lagi. Sangat berharap agar Misa Tridentine juga bisa dilakukan di Indonesia.
ReplyDeleteTerimakasih atas kunjungannya semoga bisa memperkuat iman katolik kita...
ReplyDeleteUntuk pelaksanaan misa tridentine sendiri sudah beberapa kali (memang masih di seputar regio jawa), tetapi ada komunitas yg mulai mengurus ini...bisa dilihat di link ini :
http://www.facebook.com/Tridentina
info lainnya di link ini www.misa1962.org
sekali lagi terimakasih atas kunjungannya
Bagaimana ya tatacara bagi umat,apakah banyak perbedaannya? Apa mesti pakai bahasa Latin?
ReplyDeleteAda beberapa perbedaan terutama dalam sikap dan tata gerak antara TLM dgn Novus Ordo, utk bahasa sendiri menggunakan bahasa latin...
ReplyDeleteUntuk lebih jelasnya silahkan kunjungi link http://www.facebook.com/Tridentina
info lainnya di link ini www.misa1962.org
di indonesia d keuskupan mana y sdh prnh mgdkn misa tridentine ??
ReplyDeletejawaban sama dengan di atas...terimakasih atas kunjungannya
ReplyDeleteada yang saya tidak ngerti.. katanya para Bapa Konsili Vatican 2 tiap hari merayakan misa dengan ritus tridentine, lalu kenapa umat merayakan ritus yang berbeda selama ini ya..? mohon infonya..
ReplyDelete