Banyak umat Katolik yg memiliki devosinya tersendiri, mulai dari Devosi kepada Hati Kudus Yesus, devosi kepada Santa Perawan Maria, Divine Mercy, devosi kepada Santa atau Santo lainnya, bahkan devosi akan perbuatan dan komitmen tertentu seperti Bunda Teresa kepada orang-orang terbuang dari masyarakat, hanya karena rasa cintanya kepada Tuhan.
Devosi berasal dari kata Latin "Devotio" yang berarti kebaktian, pengorbanan, penyerahan, sumpah, kesalehan, cinta bakti. Devosi selalu menunjuk pada sikap hati di mana seorang mengarahkan diri kepada seseorang atau sesuatu yang dijunjung tinggi dan dicintai. Dalam tradisi Katolik, devosi dipahami sebagai bentuk penghayatan dan pengungkapan iman Kristiani di luar liturgi resmi.
PERBEDAAN DEVOSI DENGAN LITURGI
LITURGI
Dalam Liturgi, Gereja mengungkapkan dan melaksanakan dirinya secara resmi. Liturgi sebagai perayaan gereja dipimpin oleh seorang pemimpin resmi, dengan struktur dan tata perayaan yang baku, berlaku umum, mengikat dan resmi.
DEVOSI
Devosi merupakan praktek pengungkapan iman umat yang spontan dan lebih bebas. Untuk itu, Devosi dapat dibawakan secara pribadi atau pun bersama.
Walaupun bukan merupakan liturgi resmi, devosi diterima dan diakui Gereja. Liturgi resmi sering dialami umat sebagai sesuatu yang rutin, kering, resmi dan kaku. Sebaliknya, devosi justru bisa dihayati umat sebagai sesuatu yang memenuhi kebutuhan afeksi, emosi dan kerinduan hati. Devosi merupakan praktek keagamaan populer yang mudah diterima, dipahami dan dipraktekkan.
DEVOSI UMAT
Munculnya devosi umat dalam gereja katolik dapat kita lihat dari beberapa segi yaitu :
Segi Historis Liturgis
Praktek devosi dalam Gereja Katolik mulai berkembang pada abad pertengahan. Pada abad VIII Liturgi Ritus Romawi dengan bahasa Latinnya diberlakukan di seluruh Eropa. Pada abad XVI, Konsili Trente menyeragamkan Liturgi Gereja Katolik secara tegas dan kaku. Umat awam semakin merasa terasing dari liturgi resmi gereja. Keterasingan dan ketidakterlibatan umat dalam liturgi menyebabkan kerinduan umat akan bentuk-bentuk pengungkapan iman yang lebih mudah, sederhana dan memuaskan kebutuhan afeksi mereka. Maka, lahirlah berbagai macam praktek devosi.
Segi Antropologis
Doa-doa Liturgi Romawi terkenal padat dan rasional, lebih mengungkapkan konsep teologis daripada pengalaman religius umat. Karena itu, umat mencari cara pengungkapan iman yang dapat memenuhi kebutuhan mereka. Devosi tidak menekankan keindahan rumusan doa-doa teologis, melainkan menekankan unsur perasaan dan emosi yang tergerak berkat kerinduan hati akan Allah.
Segi Agama Kerakyatan
Sebagian besar devosi umat Katolik berasal serta dipengaruhi oleh praktek religius umat setempat. Pengalaman religius adalah pengalaman mendasar setiap manusia yang merindukan kebahagiaan sejati yang diyakini sebagai anugerah dari kekuatan yang tertinggi. Bentuk ungkapan pengalaman religius ini berbeda-beda. Masyarakat yang belum mengenal Tuhan mungkin mengungkapkan sikap religius mereka melalui upacara kurban kepada dewa-dewi, sementara umat Kristiani mengungkapkan sikap religius mereka melalui devosi lokal. Tugas gereja adalah masuk dalam devosi kerakyatan ini dan memurnikan praktek devosi dengan semangat Injil. Gereja tetap mengakui dan menghargai aneka bentuk devosi umat, selama devosi tersebut dihayati dalam "Roh dan Kebenaran" (Yoh 4:23).
Devosi tidak pernah dipandang sebagai pengganti liturgi. Dalam gereja dikenal tingkatan-tingkatan. Dari seluruh liturgi resmi gereja, Perayaan Ekaristi merupakan liturgi yang tertinggi dan yang terutama tingkatnya, sesudah itu menyusul sakramen-sakramen yang lain. Namun demikian, praktek devosi dapat dihubungkan dengan liturgi resmi. Misalnya, novena dalam Perayaan Ekaristi.
Devosi harus dijauhkan dari bahaya praktek magis. Hal ini terjadi jika orang memandang kekuatan dan daya pengudusan berasal dari barang, mantra, angka dll.
Devosi harus tetap sesuai dengan iman gereja sebagaimana tertera dalam Kitab Suci dan Tradisi Gereja. Apa yang menjadi keyakinan devosional pribadi/kelompok tidak selalu harus menjadi iman Gereja Universal. Oleh karena itu, berhadapan dengan sekian banyak penampakan, gereja selalu mengambil sikap hati-hati.
Devosi harus tetap sesuai dengan iman gereja sebagaimana tertera dalam Kitab Suci dan Tradisi Gereja. Apa yang menjadi keyakinan devosional pribadi/kelompok tidak selalu harus menjadi iman Gereja Universal. Oleh karena itu, berhadapan dengan sekian banyak penampakan, gereja selalu mengambil sikap hati-hati.
DEVOSI KEPADA BUNDA MARIA
Dari sekian banyak devosi-devosi umat seperti yang telah disebutkan pada awal posting ini, saat mendengar kata DEVOSI, pikiran kita akan mengarah kepada Bunda Maria sebagai bunda Kristus. Hal ini mungkin disebabkan begitu banyak umat katolik yang berDevosi kepada Bunda Maria.
Saking banyaknya umat yang berdevosi kepada Bunda Maria, akhirnya muncul improvisasi yang pada akhirnya berujung pada penyimpangan-penyimpangan devosi yang sesungguhnya. Bahkan kadang umat tidak mengetahui bahwa itu salah, karena mungkin sudah terbiasa dengan apa yang telah dilakukannya.
Ada beberapa hal penting yang harus dihindari dalam berdevosi kepada Bunda Maria, yaitu :
Melebih-lebihkan peran Ilahi dalam karya penyelamatan.
Dalam argumen ini Allah tidak perlu kerja-sama manusiawi. Manusia tidak punya peran apa-apa. Sehingga tidak seorang manusia pun, termasuk Maria, bisa layak dihormati. Karena, penghormatan seperti itu akan mengurangi kemuliaan yang hanya ditujukan kepada Allah. Akibat dari ekstrim ini muncul apa yang kita sebut "Mariophobia".
Melebih-lebihkan peran manusiawi dalam karya penyelamatan sampai melalaikan peran Ilahi.
Argumen ini menegaskan bahwa Allah membutuhkan sarana untuk menghadirkan diri. Dan sarana paling nyata adalah Yesus Putra-Nya yang lahir dari rahim Maria. Akibat yang muncul dari ekstrim ini, orang berkeyakinan bahwa sarana saja sudah cukup. Hormati Maria saja sudah lumayan atau ungkapan lazimnya "Mariocentricisme".
Gereja menganjurkan agar setiap anggota membangun penghormatan yang benar dan sehat terhadap Bunda Maria. Keibuan Maria dalam kehidupan gereja sungguh-sungguh memberi inspirasi pelayanan bagi gereja. Mgr. Fulton J. Sheen dalam bukunya: "Treasure in Clay" menulis: "Saya berkeyakinan bahwa kelemahan agama-agama dewasa ini yakni pada mereka tidak ada 'aspek keibuan'.
Agama-agama sering terjebak kepada wajah agama yang keras dan fanatik. Mungkin boleh ditegaskan bahwa dunia, negara dan gereja kita terancam konflik serta menjadi goncang, karena banyak orang kehilangan aspek tadi. Jangan sampai kehidupan kita diwarnai dengan kekerasan dan sikap fanatik, justru karena agama-agama kita kehilangan anggotanya yang berhati ibu. Yesus Kristus, dalam keilahian dan kemanusiaan-Nya, merupakan satu-satunya pengantara Allah dan manusia.
Devosi kepada Bunda Maria dan para kudus lainnya, pada akhirnya merupakan devosi kepada Kristus, karena anugerah rahmat-Nya sudah jaya dalam diri Maria dan para kudus.
Berdasarkan iman dan ketaatannya pada Sabda Allah, Maria merupakan model yang istimewa bagi gereja dan anggotanya. Maria adalah seorang murid yang luar biasa.
Penampakan, visiun, dan peristiwa-peristiwa luar biasa lainnya yang dihubungkan langsung maupun tidak langsung dengan Maria, boleh dipercaya; boleh tidak dipercaya. Tak satu pun daripadanya pernah boleh dipandang essential bagi iman Katolik, entah itu disetujui oleh gereja atau tidak.
Isi Pesan, Petunjuk atau sejenisnya dalam peristiwa-peristiwa Penampakan, visiun, dan peristiwa-peristiwa luar biasa lainnya di atas TIDAK BOLEH dipandang dan ditempatkan sejajar dengan Injil melainkan harus dinilai dalam terang iman gereja dan hendaknya tidak bertentangan dengan Kitab Suci.
Sumber Tulisan :
"Pengantar Liturgi: Makna Sejarah dan Teologi Liturgi” oleh E. Martasudjita, Pr
http://yesaya.indocell.net
Sumber Tulisan :
"Pengantar Liturgi: Makna Sejarah dan Teologi Liturgi” oleh E. Martasudjita, Pr
http://yesaya.indocell.net
http://yesaya.indocell.net/id388.htm
ReplyDelete@Anonymous : Dari sumber buku yang sama, perhatikan detailnya
ReplyDelete